MUSIBAH DAN MUHASABAH
Alhamdulillah, bersyukur kepada Allah atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya, hingga kita semua masih dalam iman dan Islam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan alam Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Bertakwalah kepada Allah subhanahu
wa ta’ala. Laksanakan seluruh perintah-Nya. Tinggalkan semua larangan-Nya.
Hanya dengan takwa inilah, Allah akan meninggikan derajat kita di sisi-Nya.
Musibah kembali terjadi di negeri
ini. Gempa dengan kekuatan 5,6 skala Richter melanda wilayah Cianjur, dua pekan
lalu. Lebih dari 350 orang meninggal dunia. Ribuan orang terluka. Rumah dan
bangunan fasilitas publik hancur. Puluhan ribu jiwa terpaksa harus mengungsi di
tenda-tenda pengungsian. Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un …
Musibah tak ada yang menduga.
Datangnya secara tiba-tiba. Karena itu, bagi kaum Mukmin, setiap musibah harus
dihadapi dengan keimanan. Ingatlah, tak ada satu pun musibah yang terjadi
melainkan atas kehendak Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
مَآ اَصَابَ مِنْ مُّصِيْبَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ
اللّٰهِ
Tidak ada
suatu musibah pun yang menimpa kecuali dengan izin (kehendak) Allah (TQS at-Taghabun [64]: 11).
Dengan kata lain, musibah adalah
bagian dari qadha’ Allah subhanahu wa ta’ala (QS al-Hadid [57]: 22).
Maka, sikap seorang Muslim terhadap qadha’
Allah subhanahu wa ta’ala adalah ridha. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ
وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِىَ فَلَهُ
الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ
Sungguh
besarnya pahala itu seiring dengan besarnya ujian. Sungguh jika Allah mencintai
suatu kaum, Dia menguji mereka. Siapa saja yang ridha, untuk dia keridhaan itu.
Siapa yang benci, untuk dia kebencian itu (HR at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan
al-Baihaqi).
Karena merupakan qadha’,
musibah harus dihadapi dengan kesabaran. Allah subhanahu wa ta’ala memuji
orang-orang yang selalu sabar. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ
وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ
الصّٰبِرِيْنَ
Kami pasti
akan menguji kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan serta kekurangan harta,
jiwa, dan buah-buahan. Sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar
(TQS
al-Baqarah [2]: 155).
Tak hanya itu, kita pun harus selalu
bertawakal kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
قُلْ لَّنْ يُّصِيْبَنَآ اِلَّا مَا كَتَبَ
اللّٰهُ لَنَاۚ هُوَ مَوْلٰىنَا وَعَلَى اللّٰهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُوْنَ
Katakanlah,
“Tidak akan pernah musibah menimpa kami kecuali yang telah Allah tetapkan untuk
kami. Dialah (Allah) Pelindung kami.” Hanya kepada Allahlah kaum Mukmin
bertawakal (TQS
at-Taubah [9]: 51).
Dalam menghadapi musibah, Rasul shallallahu
‘alaihi wa sallam pun mengajari kita agar melakukan istirja’ yakni
mengembalikan segalanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala, berdoa, berdzikir,
serta memperbanyak ibadah dan taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Bahkan
musibah yang menimpa ini seharusnya juga melahirkan rasa syukur. Betapa banyak
nikmat yang diberikan oleh Allah kepada kita.
Dan yang tak boleh ketinggalan
adalah bertobat kepada-Nya. Kita perlu muhasabah atau introspeksi diri.
Mengapa? Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala mengingatkan bahwa beragam musibah
(bencana) datang sering karena perbuatan (dosa) manusia sendiri:
وَمَآ اَصَابَكُمْ مِّنْ مُّصِيْبَةٍ فَبِمَا
كَسَبَتْ اَيْدِيْكُمْ وَيَعْفُوْا عَنْ كَثِيْرٍۗ
Musibah
(bencana) apa saja yang menimpa kalian adalah akibat perbuatan (dosa) kalian
sendiri. Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahan kalian) (TQS asy-Syura [42]: 30).
Bukankah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam sudah memperingatkan bahwa kejahatan yang merajalela akan
mendatangkan bencana? Zainab binti Jahsy radhiallahu 'anha pernah bertanya
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah kita akan binasa,
wahai Rasulullah, padahal di sekitar kita ada orang-orang shalih?” Beliau
menjawab:
نَعَمْ إِذَا كَثُرَ الْخَبَثُ
Ya, jika
kejahatan sudah merajalela (HR al-Bukhari).
Bisa jadi kita tak melakukan
maksiat, tapi di luar sana banyak orang melakukan kemaksiatan. Bukankah kita
juga dosa jika mendiamkan? Maka penting dan harus, kita bertobat dengan taubatan
nasuha, baik secara individu dan kolektif.
Marilah kita ulurkan tangan kita
membantu saudara-saudara kita yang tertimpa musibah dengan kemampuan kita. Ini
adalah tanggung jawab kita bersama. Hanya saja yang paling bertanggung jawab
adalah pemerintah. Sebab, pemerintahlah yang diamanahi untuk mengurus segala
urusan rakyatnya, termasuk ketika rakyat ditimpa musibah.
Ini adalah bagian dari amanah
kekuasaan. Kelak di akhirat amanah kekuasaan ini akan dipertanggungjawabkan di
hadapan Allah subhanahu wa ta’ala. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَالأَمِيرُ الَّذِى عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ
مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Pemimpin
manusia adalah pengurus mereka dan dia bertanggung jawab atas (urusan)
rakyatnya (HR
al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ahmad).
Pemimpin yang adil tak akan
membiarkan keselamatan jiwa rakyatnya terancam. Maka, siapapun yang jadi
pemimpin harus mengeluarkan kebijakan yang menjamin keselamatan rakyat.
Mendidik rakyat agar paham terhadap ancaman bencana dan cara
mengantisipasinya. Tidak membiarkan
rakyat dan baru datang kepada mereka setelah bencana melanda.
Akhirnya, mari kita terus berjuang
mewujudkan negeri yang diridhai oleh Allah, penduduknya disayang oleh-Nya,
dengan menerapkan syariah Islam secara kaffah sebagai perwujudan ketaatan total
kita kepada Sang Pemilik Alam Semesta ini. []