Menjadi Makhluk yang Disukai Allah untuk Meraih Sukses Dunia Akhirat
Dalam menjalani hidup ini, semua manusia pasti
ingin menggapai kesuksesan. Manusia dianugerahi oleh Allah swt. naluri yang
menjadikannya gemar memperoleh manfaat dan menghindari mudharat. Beribadah dan melaksanakan tugas sebagai
khalifah adalah tujuan penciptaan manusia, sedangkan ibadah tidak dapat
terlaksana dengan baik bila kebutuhan manusia tidak tercukupi. Oleh sebab itu,
pemenuhan kebutuhan duniawi merupakan sebuah kewajiban. Akan tetapi, pemenuhan
kebutuhan dunia untuk mencapai sukses itu dapat dijalankan bersamaan dengan
menggapai kesuksesan akhirat.
Kesuksesan hidup tidak hanya diukur oleh capaian duniawi semata, seperti berderetnya gelar akademik, menterengnya karier, atau melimpahnya penghasilan. Kesuksesan sejati diraih jika seluruh capaian itu memberi manfaat bagi orang lain sehingga mengalirkan pahala jariah, dan kelak, saat menutup usia dalam keadaan husnul khatimah. Hal ini penting dipahami agar umur yang Allah berikan kepada manusia tidak sia-sia, tetapi justru memberikan banyak kebermanfaatan bagi diri sendiri dan sesama.
Sifat dan Perilaku yang Disukai Allah
Dalam
menjalani hidup, manusia harus menjadikan Allah sebagai tujuan dengan
senantiasa mengharap ridha-Nya dan menjadikan surga sebagai cita-cita (Dasuqi,
2008). Demikian juga hendaknya memandang kesuksesan. Untuk memperoleh
kesuksesan dunia dan akhirat, tentu kita harus senantiasa mendekatkan diri pada
Allah swt. dan menjadi orang yang disukai-Nya. Berikut ini uraian tentang macam
sifat atau perilaku manusia yang disukai oleh Allah swt. berdasarkan dalil
dalam al-Qur’an.
Al-Muhsinin
Kata al-muhsinin adalah
bentuk jamak dari kata muhsin yang
terambil dari kata ahsana-ihsana.
Rasulullah saw. menjelaskan makna ihsan sebagai
berikut:
“Engkau
menyembah Allah, seakan-akan melihat-Nya dan bila itu tidak tercapai maka
yakinlah bahwa Dia melihatmu” (HR Muslim). Dengan demikian, perintah ihsan
bermakna perintah melakukan segala aktivitas positif, seakan-akan Anda melihat
Allah atau paling tidak selalu merasa dilihat dan diawasi oleh-Nya.
Al-Muttaqin
Takwa dapat diartikan sebagai perbuatan menghindari
ancaman dan siksaan dari Allah swt. dengan jalan melaksanakan perintah-Nya dan
menjauhi larangan-Nya. Takwa selalu menuntun seseorang untuk senantiasa
berhati-hati dalam berperilaku. Shihab (2013) menjelaskan bahwa terkait dengan
ketakwaan, Allah memberikan dua macam perintah yang tercantum dalam Al-Qur’an,
yaitu perintah takwini dan perintah taklifi. Perintah takwini,
yakni perintah Allah terhadap objek agar menjadi sesuai dengan apa yang
diperintahkan-Nya. Ia biasa digambarkan oleh firman-Nya dengan “Kun fayakun”. Hal ini tercantum dalam beberapa dalil
dalam al-Qur’an, antara lain QS. Fushshilat:11 dan QS. Al-Anbiya’:69. Kedua
dalil tersebut menunjukkan betapa kuasa Allah atas apa pun yang Ia kehendaki
akan terjadi dengan segera.
Kedua, perintah taklifi,
yaitu perintah Allah terhadap makhluk yang dibebani tugas keagamaan (manusia
dewasa dan jin) untuk melakukan hal-hal tertentu. Hal ini dapat berupa ibadah
murni, seperti shalat, puasa, maupun aktivitas lainnya yang bukan berbentuk
ibadah murni, seperti bekerja untuk mencari nafkah, menikah, dan lain-lain
(Shihab, 2013). Dalam konteks berinteraksi dengan sesama manusia, terdapat
sebuah pepatah terkenal, yaitu “Sebanyak Anda menerima, sebanyak itu pula
hendaknya Anda memberi.” Namun demikian, Allah tidak menuntut hal tersebut.
Allah, Sang Maha Pemurah menurunkan firman-Nya dalam QS. At-Taghabun:16 yang
artinya
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut
kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik
untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka
mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Menurut
Shihab (2013), jika kita hendak membicarakan prioritas dalam konteks ketakwaan,
dapat diasumsikan dengan ilustrasi berikut ini: prioritas ketakwaan bagi penguasa
adalah berlaku adil; bagi pengusaha adalah jujur; bagi guru/dosen adalah
ketulusan mengajar dan meneliti; bagi si kaya adalah ketulusan bersedekah dan
membantu; bagi si miskin adalah kesungguhan bekerja dan menghindari
minta-minta. Mereka yang bertakwa itulah yang memperoleh janji-Nya dalam QS.
At-thalaq:2-3 yang menjelaskan bahwa Allah akan memberikan rezeki dan jalan
keluar atas setiap permasalahan bagi hamba-Nya yang bertakwa dan tawakal
kepada-Nya.
Al-Muqsithin
Kata al-Muqsithin adalah
bentuk jamak dari kata muqsith, yang
diambil dari kata awasatha yang biasa
dipersamakan maknanya dengan berlaku adil.
Menariknya, tidak ditemukan bunyi pernyataan al-Qur’an yang menyatakan bahwa
Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil dengan kata ‘adl/adil, tetapi ditemukan perintah menegakkan al-qisth, yakni dalam beberapa firman-Nya: QS.
Al-Maidah:8; QS. An-Nisa’:3; QS. AL-Hujurat:9.
Al-Mutathahhirin
Kata al-mutathahhirin dapat diartikan sebagai kesucian dan keterhindaran dari kotoran/noda. Salah satu pernyataan al-Qur’an bahwa Allah menyukai al-mutathahhirin ditemukan dalam QS. Al-Baqarah:222 yang menjelaskan tentang larangan seorang suami mencampuri istri yang sedang haid. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyucikan diri.
At-Tawwabin
At-tawwabin berarti kembali ke
posisi semula. Manusia dilahirkan dalam keadaan suci. Akan tetapi, seiring
berjalannya waktu, setan akan terus berusaha merayu manusia. Oleh sebab itu,
hendaknya manusia yang berdosa segera bertaubat agar kembali suci. Allah swt.,
Sang Maha Pengampun sangat menyukai hamba-Nya yang bertaubat atas
kesalahan-kesalahannya dan tidak mempersulit. Dalil yang menjelaskan tentang
at-tawwabin tercantum dalam firman Allah swt., di antaranya QS. Al-Baqarah:37,
QS. An-Nisa’:31, QS. An-Nisa’:17.
Ash-Shabirin
As-shabirin berarti sabar. Seorang yang
sabar akan menahan dri, dan untuk itu memerlukan kekukuhan jiwa dan mental baja
agar dapat mencapai ketinggian yang diharapkannya (Shihab, 2013). Mustaqim
(2013) juga berpendapat bahwa sabar berusaha keras untuk mencapai tujuan,
menahan diri dari rasa malas dan lelah. Banyak firman Allah dalam al-Qur’an
yang berisi perintah kepada manusia untuk bersabar. Berdasarkan kajian yang
telah dilakukan oleh Shihab (2013), dua kali al-Qur’an berpesan agar menjadikan
shalat/permohonan kepada Allah dan sabar sebagai sarana untuk memperoleh segala
yang dikehendaki (QS. Al-Baqarah:45, 153). Sabar selalu pahit awalnya, tapi
manis akhirnya (QS. Ali Imran:186). Dengan kesabaran dan ketakwaan akan turun
bantuan Ilahi guna menghadapi segala macam tantangan (QS. Ali Imran:120). Allah
memerintahkan sabar dalam menghadapi yang tidak disenangi maupun yang
disenangi.
Al-Mutawakkilin
Al-mutawakilin dapat diartikan mewakilkan. Perintah tawakal kepada Allah dalam
al-Qur’an ditemukan sebanyak sebelas kali (Shihab, 2013). Oleh sebab itu, dapat
disimpulkan bahwa dalam setiap aktivitas kehidupan kita, seorang Muslim
dituntut untuk berusaha sambil berdoa dan setelah itu ia dituntut untuk
berserah diri kepada Allah. Ketika manusia telah berusaha keras kemudian
menyerahkan semuanya pada Allah, manusia harus yakin bahwa apa pun ketetapan
Allah merupakan pilihan terbaik untuknya, sesuai dengan firman-Nya dalam QS.
Al-Baqarah:216.
Dalam berusaha dan berserah kepada Allah, tentu manusia tidak boleh hanya duduk diam menunggu jawaban ataupun keajaiban. Manusia perlu terus berdoa mendekatkan diri kepada Allah swt. agar benar-benar diberikan yang baik menurut kita (sesuai keinginan) dan baik menurut Allah swt. Anshor (2017) menyampaikan hal-hal yang bisa dilakukan untuk meminta kepada Allah, yaitu (a) memperbanyak shadaqah, (b) bangun untuk shalat tahajud, dan (c) memperbanyak silaturahmi. Selain tiga daya pengungkit rezeki tersebut, tentu masih banyak amalan lainnya. Jika dikerjakan secara istiqamah, insya Allah, Allah akan mempermudah segala urusan dan pencapaian cita-cita makhluk-Nya.
Kerja Sama dan Network
Dalam QS.
Ash-Shaf:4, Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Allah menyukai
orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka
seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.”
Ayat di atas menunjukkan perlunya
kebersamaan, network, dan koordinasi. Ciri khas
ajaran Islam adalah kebersamaan dalam segala aktivitas positif, baik dalam
melaksanakan ibadah ritual maupun dalam melaksanakan aneka aktivitas, itu
sebabnya, shalat berjamaahn lebih diutamakan daripada shalat sendirian. Di sisi
lain, kebersamaan itu tidak harus menjadikan semua pihak melakukan satu pekerjaan
yang sama, melainkan perlu pembagian kerja yang diatur dalam satu network yang baik (Anshor, 2017).
Akhlak Mulia
Berdasarkan
kajian yang dilakukan oleh Shihab (2013), dinyatakan bahwa ada empat sifat
khusus yang disebut oleh QS. Al-Maidah:54 yang menjadi sebab tercurahnya cinta
Allah kepada manusia, yaitu (a) bersikap lemah lembut terhadap orang-orang
mukmin, (b) mulia/memiliki harga diri dan bersikap tegas terhadap yang kafir,
(c) berjihad di jalan Allah, dan (d) tidak takut kepada celaan pencela.
Al-Ittiba’
Ali Imran: 31 dan 32 memberi gambaran yang sangat
umum menyangkut siapa atau perbuatan apa yang paling disukai Allah (Shihab,
2013), yakni perintah untuk menaati Allah dan Rasul-Nya. Al-ittiba’ berarti meneladani,
mengikuti secara sungguh-sungguh. Cinta Allah yang luar biasa akan
diraih oleh mereka yang bersungguh-sungguh mengikuti Nabi Muhammad saw. Al-ittiba’ yang dimaksud ini dijelaskan oleh sabda
Rasul saw. yang berbunyi, “yakni atas dasar kebajikan,
takwa, dan rendah hati” (HR at-Tirmidzi, Abu Nu’aim, dan Ibnu
‘Asakir melalui sahabat Nabi, Abu ad-Darda).
Kesimpulan
Kunci sukses
adalah iman. Iman adalah fondasi dalam beramal shalih sebab Allah hanya akan
menerima amal shalih makhluk yang beriman kepada-Nya. Kemampuan beramal shalih
inilah yang dapat dikatakan sebagai kesuksesan dunia dan akhirat. Hadis Nabi
Muhammad saw. yang banyak dikenal umat Muslim, “Sebaik-baik manusia adalah yang
paling bermanfaat bagi manusia” merupakan landasan pokok bagi manusia untuk
menyikapi kesuksesan yang telah dimiliki. Sejatinya, semakin tinggi kesuksesan
yang diraih, semakin besar pula tanggung jawab dan kebermanfaatan yang
dilakukan. Semakin tinggi gelar pendidikan yang dan ilmu yang diperoleh,
semakin besar amanah untuk menyampaikannya kepada orang lain. Semakin banyak
kekayaan yang didapat, semakin banyak zakat mal dan shadaqah yang harus
dikeluarkan untuk orang lain. Semakin tinggi jabatan, semakin besar tanggung
jawab dan amanah untuk membantu dan menyejahterakan rakyatnya.
* dikutip dari https://islamic-economics.uii.ac.id/